Media
Sosial seolah menjadi barang murah, bahkan gratisan, yang dapat
dinikmati oleh setiap orang. Tidak sulit mencarinya. Semua seolah
tersaji di hadapan mata. Sekarang keputusannya ada di tangan anda, mau
atau tidak. Olah pikir, keingintahuan, atau keisengan dapat saja
menggerakkan jari tangan untuk mendaftar di sebuah media sosial. Mudah
dan praktis untuk mulai mencicipi media sosial. Pertanyaannya, apakah
rasa dan aromanya itu lezat, pahit, kecut, asam, atau campur aduk?
“Ah, bosan lihat loe ngeblog mulu!”“Pagi-pagi sudah OL, bukannya ngerumpi sama temen”“Apa sih untungnya ngeblog selain narsis!”“Cuma one line post, tidak ada manfaatnya!”“Semua serba online, belum tentu produktif!”
Itulah
beberapa komentar atau uneg-uneg teman yang cenderung negatif, bakan
ajakan konfrontatif mengenai aktivitas orang-orang dalam media sosial.
Pernyataan dan pertanyaan tersebut juga sering saya dengar juga di dunia
akademik. Ragam sikap dan prilaku dalam menyikapi kehadiran atau
menggauli media sosial pun menjadi fenomena yang researchable di mata para akademisi.
*****
Para
akademisi selalu berupaya mencermati berbagai fenomena kehidupan,
termasuk kehadiran media sosial di dunia maya. Beberapa teori psikologi
dan teori sosial pun sering digunakan sebagai kacamata untuk menelisik
geliat media sosial. Penerimaan teknologi internet- termasuk media
sosial- oleh masyarakat pun dijelaskan sebagai fenomena sosial dan
psikologis. Sebagai contoh, Social Cognitive Theory, Theory of Reason Action, Theory of Planned Behavior dapat digunakan untuk menjelaskan mengapa ada orang yang demen banget sama
media sosial, tapi ada ada juga yang anti, atau biasa-biasa saja.
Selalu ada alasan atau premis mengenai sikap dan prilaku orang terhadap
kehadiran media sosial. Bahkan, daya tarik sebuah media sosial pun dapat
ditelisik dengan Technology Acceptance Theory atau Unified Theory of Acceptance and Use of Technology. Jika itu belum cukup, konten media sosial pun dapat ditakar dengan Webqual Modelatau Media Richness Theory.
Hmmm, cukup sudah kita berteori. Memang itu kerjaan para
akademisi dalam menyikapi fenomena media sosial ini. Namanya juga dunia
akademik, selalu bergaul dengan teori-teori yang mungkin membosankan
bagi para penggiat atau praktisi media sosial. Jangan-jangan para
akademisi hanya dapat berteori dan mendekam saja di menara gading, tanpa
pernah merasakan sendiri bagaimana suka dan duka berselancar dan
bercengkrama di media sosial. Selalu ada peluang kesenjangan antara
dunia teori dengan dunia praktisi. Selalu ada peluang ketertarikan di
antara keduanya dalam memaknai keterkaitan orang-orang dalam sebuah
media sosial.
Keterkaitan
antar satu individu dengan individu di ranah maya dianggap sebuah
jejaring sosial yang dapat merepresentasikan hubungan antar manusia.
Selalu ada aspek psikologis dan sosial dalam social network yang
difasilitasi oleh internet ini. Apakah hubungan tersebut berdampak
positif atau negatif. Selalu ada perdebatan tentang itu, terutama antara
kubu pesimis dan optimis dengan kehadiran internet dalam mengembangkan
jejaring sosial. Cyber-Optimist mempunyai keyakinan bahwa dunia maya dapat membangun pertemanan yang bermanfaat secara psikologis dan sosial. Namun, kubu Cyber-Pessimist menganggap sebaliknya. Adakah titik tengah dari perdebatan tersebut?
Sebagai
sebuah barang digital, media sosial dapat dianggap sebagai pemuas dari
kebutuhan penggunanya. Yang terpuaskan mungkin bergabung selamanya, dan
menjalin pertemanan dengan sesama penikmat media sosial lainnya. Mereka
membentuk sebuah komunitas yang dilandasi kebutuhan atau motif yang
dapat dipenuhi oleh media sosial. Lalu bagaimana dengan pihak yang tidak
menyukai media sosial? Yang jelas, mereka tidak hadir di sini. Karena
anti, mereka menganggap media sosial sebagai komoditas tidak penting .
Tidak ada manfaatnya untuk dicicipi. Namun, bukan berarti kubu anti
media sosial ini tidak dapat bergaul akrab dengan penikmat media sosial
di dunia nyata. Lalu, adakah perbedaan makna di antara mereka sebagai
dampak dari sikap pro dan kontra terhadap media sosial? Maksudnya,
adakah perbedaan manfaat nyata media sosial dalam kehidupan nyata bagi
kubu pro dan kontra?
Salah satu dugaan perbedaan tersebut adalah terkait dengan konsep modal sosial atau social capital. Menurut Worldbank, “Social
capital refers to the institutions, relationships, and norms that shape
the quality and quantity of a society’s social interactions“.
Berbagai riset atau kejadian empiris- tanpa perlu justifikasi riset atau
teoritis di sini- menunjukkan bahwa kohesi sosial dapat meningkatkan
sumber daya ekonomi atau pengembangan masyarakat secara berkelanjutan.
Modal sosial tersebut dapat berubah wujud menjadi “buah manis” yang
mempunyai nilai ekonomi, atau menjadi sebuah keuntungan finansial
Ketika
pertemanan memberikan solusi gratis tentang sebuah permasalahan, maka
pertukaran ide dan gagasan menjadi sebuah barang yang seolah tidak
bertarif. Ketiadaan tarif tersebut sebenarnya menjadi sebuah
“penghematan finansial” jika pencarian ide di luar media justru harus
berbayar. Contoh lain, ketika distribusi atau pemasaran sebuah obyek
berpotensi bisnis- misalnya, sebuah buku- maka jejaring pertemanan akan
mereduksi biaya distribusi atau pemasaran. Cakupan distribusi dan
pemasaran pun meluas, tanpa ada ongkos untuk menggapainya. Toh, dengan media sosial kita bisa menggapainya dengan marginal cost yang
mendekati nol. Ini berlaku untuk yang penikmat media sosial dengan
motif bisnis. Atau setidaknya, ada peluang bisnis ke depannya. Lalu
bagaimana dengan penikmat media sosial yang tetap konsisten dengan motif
sosial saja? Apakah modal sosial tetap dapat diraih dan
dimanfaatkannya?
*****
Sama
seperti di dunia nyata, kehidupan di media sosial pun seperti mozaik,
heterogen, dan penuh dinamika. Ada tokoh utama, panutan, dan selalu
menjadi rujukan. Sang Idola di media sosial. Ada juga yang menonton
saja. Diam tapi tetap menyimak. Ada juga suporter fanatik, atau sekedar
hura-hura saja. Ada yang berteriak lantang, namun tidak sedikit yang
hanya bergumam saja, nyaris tak terdengar. Ada identitas yang
transparan, namun lebih banyak juga yang tersembunyi atau samar-samar.
Nama alias pun bertebaran. Tujuan dan motif bermedia sosial pun
sepertinya berbeda-beda. Alasan dan argumentasi beragam. Perbedaan itu
mungkin saja menimbulkan perdebatan, membentuk sekat-sekat yang memilah
dan memilih siapa mereka dan siapa kami. Kami berbeda dengan mereka. Ada
yang adu jotos dan saling mencaci maki, ada juga yang saling memuji dan
membela. Media sosial pun akhirnya seolah representasi, atau
jangan-jangan, cermin dari hidup dan kehidupan di dunia nyata. Kata-kata
pun seolah cermin dari peran dan karakter dari penggiat media sosial.
Benarkah?
Ya,
hiruk-pikuk dan dinamika media sosial menjadi skeptisme tentang
kemungkinan timbulnya modal sosial bagi para penikmatnya. Ketika puluhan
ribu, bahkan puluhan juta orang tergabung dalam sebuah media sosial,
akhirnya keunikan dan kreatifitas menjadi salah satu kunci keberhasilan
dalam mengarungi kehidupan di media sosial. Artinya, belum tentu setiap
penikmat media sosial mendapatkan modal sosial yang setara. Kadar atau
takaran modal sosial yang diperoleh pun berbeda-beda.
*****
Ini
saja tulisan hari ini. Akhirnya ini cuma permainan kata-kata yang cuma
memenuhi ruang maya saja. Dapat bermakna, atau tidak berarti apa-apa.
Bisa menjadi sampah elektronik berupa bit-bit elektronik yang memenuhi
gudang virtual. Belum tentu ada yang melirik dan tertarik. Belum tentu
juga dapat memetik modal sosial.
Lalu mengapa masih memaksakan diri untuk menulis? Kenapa tidak! (/kompasiana)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar